1. Air Suci dan Mensucikan
Air yang suci dan mensucikan dapat digunakan untuk menghilangkan najis
maupun hadats. Selain itu, kategori air ini juga dapat digunakan keperluan dalam
pelaksanaan amal perbuatan yang disunnahkan, seperti mandi untuk melaksanakan shalat
Jum’at, shalat dua hari raya, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan berbiadah kepada Allah SWT, air Suci dan
mensucikan juga dapat digunakan untuk keperluan yang mubah hukumnya, seperti
memasak, minum, mandi, mencuci pakaian, menyiram tanaman dan lain sebagainya.
Dalam situasi tertentu, penggunaan air suci dan mensucikan memiliki hukum
penggunaan yang berbeda:
Dilarang (Haram):
(a) Menggunakan air suci dan mensucikan milik orang lain,
sedangkan pemiliknya tidak mengizinkannya;
(b) Bila air dialirkan untuk kepentingan
umum, maka air yang terdapat dalam tempat aliran khusus untuk minum juga haram
dipergunakan;
(c) Pemakaian air akan berakibat membahayakan bagi pemakainya, seperti
sakitnya menjadi lebih parah;
(d) Air dalam kondisi sangat panas atau dingin, sehingga
membahayakan pemakainya; dan
(e) pemakaian air pada saat terdapat binatang yang haus
dan statusnya dilingdungi (tidak boleh di bunuh) menurut ketentuan fikih.
Tidak Dianjurkan (Makruh):
(a) air yang sangat panas atau dingin, namun tidak
sampai membahayakan anggota tubuh. Mengapa tidak dianjurkan+ karena dapat: (1) menghilangkan
atau mengurangi kekhusyu’an orang yang berwudhu, (2) membuat pelakunya gelisah
dengan pedihnya panas atau dingin, dan (3) menyebabkan tergesa-gesa untuk mengkhiri
pemakaiannya.
2. Air Suci namun Tidak Mensucikan
Hukum penggunaan air suci namun tidak mensucikan dapat klasifikasikan
menjadi dua:
Air Suci yang bercampur dengan benda suci: Apabila benda lain yang
bercampur dengan air dapat merubah salah satu dari keseluruhan dari tiga sifatnya
(warna, rasa, bau), maka air tersebut hanya boleh dipergunakan untuk pemenuhan
kebutuhan yang lazim di tengah-tengah masyarakat. Namun, air tidak boleh pergunakan
membersihkan najis maupun hadats.
Contoh: kandungan air dalam minyak wangi tetap suci dan oleh karena itu,
minyak wangi dapat dioleskan ke badan atau pakaian yang akan dipergunakan shalat dan
melaksanakan ibadah lainnya. Penggunaannya harus berdasarkan kelaziman masyarakat, sehingga tidak diperbolehkan penggunaan minyak wangi untuk pemenuhan kebutuhan air
minum. Air yang bercampur dengan sabun cuci atau air bekas cucian dapat di gunakan
untuk mencuci benda lainnya. ingat..!! hanya untuk mencuci barang yang suci bukan barang yang najis, seperti piring yang kotor sebab makanan itu hukumnya suci walaupun kotor atau baju yang kotor tapi tidak terkena najis. Tetapi air bekas cucian atau bercampur dengan sabun tidak bisa mensucikan barang yang najis.
Apabila air yang bercampur dengan benda suci dan tidak merubah salah satu atau
ketiga sifatnya, maka hukum penggunaannya sama dengan air suci yang mensucikan.
Air Suci dalam jumlah sedikir yang telah dipakai membersihkan najsi atau hadats
(musta’mal): Jika volume air lebih dari dua kullah, maka hukum air adalah suci dan
mensucikan.
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ
Artinya:
”Apabila air mencapai dua kullah, maka ia tidak akan najis” (HR. Asy-Syafi’i, Ibnu
Khuzaimah, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi).
Jika volume air kurang dari dua kullah, maka air musta’mal hanya boleh digunakan
pemenuhan kebutuhan yang mubah, seperti menyiram tanaman, mencuci sepeda motor,
mobil, dan seterusnya. Air ini tidak diperbolehkan untuk membersihkan najis atau hadats.
Air Suci dari tumbuhan maupun buah-buahan:
Air yang ada di dalamnya
tidak diperbolehkan untuk menghilangkan najis dan hadats. Oleh karena tetap suci, maka
air yang dikandung oleh seluruh jenis tumbuhan maupun buah-buahan diperbolehkan
untuk keperluan yang mubah, seperti minum akibat kehausan.
3. Air Mutanajjis
Hukum menggunakan air yang mutanajjis dapat dikategorikan menjadi dua
bagian:
a) Air suci dan mensucikan dalam jumlah sedikit volumenya yang terkena najis, maka
hukumnya tidak diperbolehkan untuk membersihkan najis maupun hadats. Hukum ini berlaku secara umum, baik sifat-sifat air yang terkena najis berubah atau tidak
berubah.
b) Air suci dan mensucikan dalam jumlah lebih dari dua kullah terkena najis yang tidak
berubah salah satu dari ketiga sifat-sifatnya, maka hukumnya adalah tidak najis,
sehingga dapat dipergunakan membersihkan najis dan hadats.
Air suci dan mensucikan dalam jumlah lebih dari dua kullah terkena najis yang
menjadi berubah salah satu dari ketiga sifat-sifatnya, maka hukumnya adalah najis,
sehingga tidak boleh dipergunakan menghilangkan najis atau hadats.
ALAT-ALAT BERSUCI SELAIN AIR
1. Batu sebagai Alat Bersuci
Bersuci dengan batu tidak hanya sekadar membersihkan sisa kencing atau berak.
Oleh karena itu, penggunaan batu agar hasilnya bersih dan sekaligus mensucikan maka
harus dipenuhi syarat-syaratnya. Cermati syarat-syarat berikut ini!
1. Menggunakan Tiga Buah Batu
Jika tidak menemukan tiga buah batu, diperbolehkan menggunakan satu batu yang
memiliki tiga sisi. Kebersihan menjadi alat ukur penggunaan tiga atau satu batu
dengan tiga sisi tersebut. Oleh karena itu, selama kotoran masih menempel wajib
membersihkannya kembali, meskipun telah empat batu digunakan.
2. Batu Yang Digunakan Dapat Membersihkan
Batu yang dipakai tidak terlalu datar dan runcing sehingga benar-benar dapat
membersihkan kotoran di sekitar tempat keluarnya.
3. Belum Mengering
Kencing maupun berak yang hendak disucikan harus dalam keadaan belum
mengering, sehingga sisa-sisa yang melekat benar-benar dapat dibersihkan.
4. Belum Berpindah
Kotoran masih menempel di tempatnya semula dan jika telah bergeser akibat
digaruk tanpa sengaja atau sebab lainnya, maka tidak diperbolehkan menggunakan
batu untuk mensucikannya.
5. Tidak Bercampur
Kotoran yang melekat tidak bercampur dengan kotoran lainnya, seperti berak yang
terkena percikan air kencing. Jika yang bercampur adalah benda-benda padat yang
suci seperti kerikil maka tetap diperolehkan menggunatan batu untuk bersuci.
6. Tidak Meluber
Orang yang terkena diare biasanya, sisa kotoran sampai menempel ke permukaan
bokong atau menempel di dua dinding dubur akibat berdiri setelah buang air besar.
Kotoran sudah masuk kategori meluber sehingga tidak diperbolehkan menggunakan
batu untuk bersuci. Begitu pula kencing yang meluber hingga keluar ujung
kemaluan juga boleh lagi menggunakan batu.
7. Batu Dalam Keadaan Tidak Basah
Batu yang terkena air, embun atau air es yang mencair ketika hendak digunakan.
Meskipun air yang membasahinya berupa suci dan mensucikan tidak boleh batu
yang basah digunakan bersuci.
8. Batu Dalam Keadaan Suci
Tidak boleh batu yang terkena najis atau tertempel najis digunakan untuk
mensucikan. Penggunaan batu najis akan membuat anggota tubuh yang tertempel
kencing maupun berak semakin najis keadaannya.
2. Menggunakan Benda Padat Selain Batu
Dalam kondisi tidak ada air yang suci dan mensucikan dan batu
sebagai alat bersuci maka diperbolehkan mensucikan kencing atau berak dengan
menggunakan benda-benda lainnya. Dengan tujuan mewujudkan kemashlahatan, hukum
fikih memperbolehkan melakukan analogi (qiyas) yang menghasilkan kesimpulan ada
tidaknya pengganti batu sebagai alat bersuci.
Analogi (qiyas) adalah menentukan hukum yang belum diketahui sebelumnya
terhadap benda tertentu
(1) dengan menyandarkan pada benda lain yang sudah jelas
hukumnya
(2), karena adanya sesuatu yang menyatukan keduanya
(3).
1. Benda yang belum diketahui hukumnya sebelumnya adalah seluruh benda yang
boleh atau tidak boleh digunakan sebagai pengganti batu untuk bersuci (far’un).
2. Benda yang telah diketahui hukumnya adalah diperbolehkannya batu sebagai alat
bersuci (ashlun).
3. Sesuatu yang menyatukan dapat berupa sifat yang menjadi motif dalam
menentukan hukum atau kriteria yang dimiliki oleh batu sebagai alat bersuci
(‘illat).
4. Hukum adalah boleh atau tidaknya benda-benda yang belum ditentukan
hukumnya untuk memiliki kesamaan hukum dengan batu.
Kita menemukan ukuran yang pasti sekarang. Selain batu diperbolehkan menjadi alat
bersuci dari kotoran kencing maupun berak, selama belum menemukan air dan batu. Kita
juga dapat mengamati untuk menemukan benda-benda lain selain tisu, ranting dan
dedaunan kering yang dapat digunakan dengan cara mengikuti prosedur atau tata cara seperti penggunaan batu. ingat....! ini hanya digunakan dalam keadaan tidak ada air yang digunakan untuk bersuci.
KESIMPULANNYA
Diperbolehkan menggunakan benda padat selain batu dengan syarat memiliki
kriteria:
a) Suci
b) Padat dan kering.
c) Mampu menyerap, menghilangkan, dan membersihkan.
d) Bukan benda yang dihormati dan sangat dibutuhkan.
HIKMAH DALAM PENGGUNAAN ALAT-ALAT BERSUCI
1. Bersuci Dan Menjaga Kelangsungan Hidup Manusia
Tahukah kita, seringkali secara sadar dan tanpa mempertimbangkan dampak
negatifnya, bersuci dilakukan dengan menggunakan air yang berlebihan. Kita juga sering
melihat, kran air di masjid atau mushalla di biarkan terus mengalir dan di tinggalkan begitu saja oleh orang yang telah selesai bersuci. Terlihat pula, tutup kran tidak ditutup
rapat, sehingga air terus menetes atau merembes.
Pernahkah kita mengamati, berapa volume air yang terbuang sia-sia? Bagaimana
dampaknya terhadap kelangsungan persediaan air bersih yang mencukupi kebutuhan?
Apakah perbuatan menyia-nyiakan air sesuai dengan ketentuan Islam?
”Air bersih adalah sumber kehidupan” adalah ungkapan yang pasti benarnya.
Semua makhluk hidup, terutama manusia membutuhkan air dalam volume yang paling
banyak dibanding makhluk hidup lainnya. Jika muncul krisis ketersediaan air bersih
yang diakibatkan oleh pemborosan penggunaan air, maka manusia adalah makhluk yang
paling berdosa dan paling merasakan dampaknya.
Sumber-sumber penyediaan air bersih baik dari mata air pegunungan, penyulingan
air sungai atau bengawan, dan penyulingan air waduk mengalami penuruan debit yang
luar biasa, akibat muslim kemarau.
2. Bersuci Dan Menjaga Kelangsungan Hidup Ekosistem
Menggunakan air bersih untuk bersuci dengan tidak
boros menjadi bagian dari bentuk kepedulian terhadap kelestarian lingkungan.
Keberlangsungan kehidupan manusia akan terjaga, karena pasokan air bersih digunakan
secara tepat. Apalagi, ditengah kondisi keterbatasan sumber-sumber air bersih, karena
surut dan mengeringnya mata air, sungai, dan waduk penampungan di berbagai wilayah
di Indonesia.
Berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air bersih dapat dicegah
sejak dini. Resiko kematian banyak manusia pun dapat dihindari, karena kehati-hatian
manusia dalam menggunakan air untuk bersuci. Kesimpulannya, menggunakan air secara
tepat berarti sama dengan menjaga kelangsungan hidup kita dan masyarakat secara
menyeluruh.
Penggunaan air bersih untuk bersuci secara tepat juga memberikan jaminan
terhadap kelangsungan ekosistem di sekitar kita. Tumbuhan dan hewan dengan segala
jenisnya pasti membutuhkan air untuk menjaga hidupnya. Sama seperti manusia, jika
keduanya mengkonsumsi minuman yang tidak sehat juga berpotensi terkena penyakit,
termasuk penyakit yang menular. Kondisi ini sangat membahayakan kehidupan, karena
keduanya menjadi bagian tak terpisahkan dari manusia. Bagaimanakah jika ternyata
manusia mengkonsumsi sayuran dan ikan yang penuh dengan penyakit?.